Karena tergila-gila pada komik, Chris mencari beasiswa S2 untuk ilmu
pembuatan komik di AS. Program magang di Devil's Due Publishing
mempertemukannya dengan Hasbro, pemilik lisensi komik Transformers dan
GI JOE. Dari situ karir Chris Lie di dunia per-komik-an dimulai.
Nama Chris Lie memang tak setenar Chris John. Tapi keduanya merupakan
putra bangsa yang sama-sama mengharumkan nama Indonesia. Bedanya, kalau
Chris John adalah petinju pemegang gelar "Super Champions" kelas bulu
WBA, sedangkan Chris Lie adalah ilustrator komik yang karya-karyanya
sudah diangkat ke layar lebar.
Anda tentu masih ingat fenomena film Transformers: Revenge of the
Fallen, setahun silam. Waktu itu, calon penonton bioskop rela mengantre
demi selembar tiket film peperangan antarrobot. Hanya seminggu setelah
dirilis, film yang dibintangi Shia Labeouf dan Megan Fox ini mampu
meraup penghasilan US$200 juta (setara Rp1,83 triliun). Film
Transformers diangkat dari komik yang salah satu ilustratornya adalah
Christiawan Lie, pria kelahiran Bandung, 5 September 1974.
Ya, Chris, sapaan karib Christiawan, merupakan ilustrator komik yang
karya-karyanya sudah beredar di seluruh dunia. Di antaranya,
Transformers, GI JOE, Ninja Tales, Voltron, Return of The Labyrinth
(peraih New York Times Manga Best Seller #4, bersaing dengan komik
Naruto), dan Drafted One Hundred Days, yang salah satu serialnya
mengangkat kisah Barrack Obama. “GI JOE itu karya pertama saya,” kenang
Chris, seperti dikutip Warta Ekonomi.
Saat ini Chris dan Mark Powers, mantan editor X-Men yang menjadi mitra
kerjanya, sudah mendaftarkan copyright dan trademark komik serial
Drafted. Bahkan, New Line Cinema, salah satu studio film besar di AS
tengah melakukan negosiasi film yang mengadopsi komik Drafted.
Tak cukup sampai di situ, game Marvel Ultimate Alliance II (Activision)
untuk Playstation3/XBOX360, juga karya Chris. Di game tersebut, Chris
mengonsep ulang desain karakter superhero dari komik Marvel agal lebih
up to date dengan tampilan visual yang lebih keren.
Paling tidak, sampai saat ini, Chris – tentunya lewat perusahaannya yang
bernama Caravan Studio, sudah menghasilkan 13 grafik novel dan komik,
sepuluh ilustrasi, empat desain konsep, enam desain mainan, dan
ilustrasi kemasan. Chris Lie merupakan salah satu orang Indonesia yang
berhasil menembus industri komik mainstream di AS.
Magang Membawa Berkah
Chris memang tergila-gila pada komik. Ia mulai jatuh cinta pada komik
saat membaca Tintin, saat kelas 3 SD. Selanjutnya, ia coba-coba
menggambar komik. Lulus dari SMU Negeri 3 Surakarta, Chris bilang ke
orang tuanya kalau dirinya ingin meneruskan pendidikan di bidang seni
rupa dan desain. Sayangnya, ia tak mendapatkan lampu hijau dari orang
tuanya. Alhasil, Chris pun memilih jurusan Arsitektur yang masih ada
“berbau” seni. Beruntung, ia diterima di Institut Teknologi Bandung
(ITB).
Selepas dari ITB, pada 1997, pria yang lulus dengan predikat cum laude
ini, bekerja di konsultan arsitek Nyoman Nuarta, dan ikut dalam proyek
arsitek Garuda Wisnu Kencana, Bali. Tapi, dasar Chris yang cinta mati
sama komik, setelah siangnya bekerja sebagai arsitek, malam harinya ia
membuat komik. “Saya dan empat teman bikin komik kalau malam. Kalau
siang, kita kerja kantoran,” kata Chris, terbahak.
Ternyata, Chris hanya bertahan setahun bekerja di konsultan arsitek.
Pada 1998, ia mendirikan Studio Komik Bajing Loncat bersama empat kawan
semasa kuliah di ITB. Di studio Bajing Loncat ini ia berhasil
menerbitkan komik yang berjudul Katalis, Amoeba, Petualangan Ozzie,
Ophir, dan lebih dari 15 judul lainnya. Waktu itu, mereka mencetak dan
memasarkan sendiri komik-komik hasil karya mereka.
Usaha mereka tak sia-sia, Penerbit Mizan dan Elex Media Komputindo
tertarik pada karya mereka. Mizan meminta mereka untuk mengisi ilustrasi
kisah-kisah Nabi. Untuk menyelesaikan proyek tersebut, Chris menambah
ilustrator menjadi sebelas orang. Sayangnya, kerjasama bisnis dengan dua
penerbit besar di Indonesia itu hanya berlangsung tiga tahun. Meski
pekerjaan lancar, penghasilan ternyata tidak mencukupi.
Chris dan empat kawannya sepakat melanjutkan hidup masing-masing, pada
2001. Chris pun kembali bekerja menjadi arsitek. Sambil bekerja, Chris
terus membuat komik dan melamar beasiswa. Pada 2003, suami Rennie
Setyadharma ini mendapatkan beasiswa penuh dari Fullbright Scholarship
untuk melanjutkan program master di Savannah College of Art and Design
(SCAD), Georgia, Amerika Serikat, selama dua tahun. Jurusan yang diambil
adalah master di bidang sequential art. “Sederhananya, saya ambil
jurusan komik,” jelas putra pasangan Lie Hong Ing dan Tan Hwa Kiem ini.
Kampus SCAD meminta mahasiswa untuk mengambil program magang, bisa di
internal kampus atau di perusahaan. Chris memilih opsi kedua. Ia magang
di Devil's Due Publishing (DDP), Chicago, selama periode
November-Desember 2004. DDP adalah perusahaan penerbitan yang memegang
lisensi komik GI JOE. Chris merasa amat beruntung punya kesempatan
magang di DPP. Sebab, tak mudah bagi mahasiswa asing untuk magang di
perusahaan komik AS papan atas.
Seperti anak magang pada umumnya, Chris tidak dipercaya mengerjakan
gambar. Melainkan hanya melakukan pekerjaan kantoran biasa. “Saya cuma
disuruh fotokopi dan mengantar dokumen ke sana-sini. Kalaupun menggambar
pasti tidak pernah dipakai,” kenang dia.
Suatu hari, Hasbro, perusahaan yang menaungi GI JOE dan Transformers,
menawarkan proyek pembuatan tiga action figure GI JOE ke DDP. DDP
meminta seluruh staf ilustrator (termasuk staf magang) untuk mengirimkan
karya. Tak disangka, justru karya Chris terpilih!
Dengan rendah hati Chris mengaku bahwa dirinya yang berasal dari Asia
menjadi salah satu faktor penentu. Sebab, waktu itu, demam komik Jepang
tengah melanda AS. Kebetulan Chris memiliki “gaya” komik Amerika-Jepang.
Jadi, dirasa pas dengan konsep market GI JOE besutan Hasbro.
Tawaran yang datang pada hari Jumat itu membuat pengagum komikus Jim Lee
ini terpacu untuk ngebut menggambar tokoh-tokoh GI JOE dalam berbagai
pose. Hasilnya, Chris mendapatkan kontrak untuk membuat action figure
selama lima gelombang. Sampai 2008, ia mengonsep action figure GI JOE:
Sigma 6 Soldier Series dan GI JOE: Sigma 6 Commando Series yang mencapai
25 buah. Untuk satu gelombang, perusahaan biasanya merilis lima tokoh.
Hidup dari Komik
Ketika Chris kembali ke Indonesia, pada 2006, Hasbro dan DDP menjadi
klien tetap Chris. Proyek action figure GI JOE berlanjut pada proyek
ilustrasi komik GI JOE dan Transformers. Satu hal yang membanggakannya
adalah menerbitkan komik Drafted bersama Mark Powers. “Drafted adalah
karya orisinal karena ide cerita dari kami berdua, sejak edisi perdana,”
kata Chris, bungah.
Pada 2007, Chris membangun bisnis bernama Caravan Studio, dengan modal
tabungan Rp150 juta. Caravan adalah studio konsep desain, komik, dan
ilustrasi yang fokus pada penggarapan kreatif sebuah proyek. Bila
kompetitor dari negara berkembang hanya mengerjakan labor work proyek
dari perusahaan di negara maju, Caravan Studio justru aktif menggarap
proses kreatif, mulai dari tahap pencarian dan pengembangan ide, desain
dan art direction, hingga output berupa digital image. “Orang Indonesia
sebenarnya banyak yang ikut serta dalam proyek komik di AS, tapi
kebanyakan di bidang pewarnaan, bukan konseptor,” jelas Chris. Lebih
lanjut ia mengungkapkan, untuk perusahaan sekelas Marvel, sebagai
penciler (pembuat sketsa), Chris bisa meraup honor US$100 (sekitar
Rp900.000) per lembar.
Di mata klien, Chris dan Caravan Studio dinilai memiliki penguasaan
bahasa asing dan kualitas di atas rata-rata. Bekal pengalaman selama
menggarap proyek Hasbro dan DDP menjadi nilai plus Caravan dibandingkan
kompetitornya. “Saya termasuk orang yang diuntungkan dalam krisis 2008
silam. Banyak proyek lari ke Caravan,” kata dia. Chris mengaku
mendapatkan proyek internasional dengan mengandalkan jejaring semasa
kuliah di SCAD dan word of mouth. Kini, Chris tengah menggaet klien baru
asal Eropa.
Ia mengungkapkan butuh enam hingga delapan bulan untuk mengerjakan satu
proyek komik. Baginya, ada kepuasan tersendiri jika melihat komik
karyawanya dipajang di rak toko buku. Apalagi komiknya diedarkan di
seluruh penjuru dunia. “Comic is my life style. I create comic, I read
comic, I analyze comic, I teach comic, I talk comic, and I get my income
from comic,” kata Chris. Bagi dia, komik adalah segalanya.